Doc. AGRA

Sikap Politik Rakyat Indonesia Menyongsong Pelantikan Rezim Fasis Prabowo-Gibran

Perhebat Konsolidasi Pikiran dan Barisan Massa: Lancarkan Perjuangan Anti-Feodal di Perdesaan Serta Perkuat Gerakan Anti Imperialis dan anti-Fasis di Perkotaan

Rezim Jokowi segera berakhir. Rezim ini selama 10 tahun berkuasa hingga tahun terakhirnya, telah meninggalkan banyak kerusakan ekonomi, politik, kebudayaan yang tak terkira sebagai warisan buruk bagi kehidupan rakyat Indonesia. Seperti Barack Obama sebagai presiden berkulit hitam pertama bagi negeri imperialis AS, pada kemunculannya memberi ‘harapan baru’ menyelesaikan warisan sistem busuk produk imperialis AS: mengakhiri penindasan apartheid terhadap rakyat kulit hitam yang sudah menyejarah di AS, membuka prospek harapan bagi perbaikan upah buruh, dan peningkatan pelayanan publik yang lebih baik. Namun alih-alih semua ini dapat diperbaiki, Barack Obama malah membawa malapetaka bagi rakyat AS dengan krisis financial yang mengoyak AS dan berdampak global, disusul gelombang protes massal dari klas buruh yang marah hingga makin meluasnya penindasan apartheid di AS. Harapan yang bertukar menjadi kehancuran. 

Joko Widodo sama halnya, lahir dari politisi berlatar belakang rakyat biasa dan bersahaja. Di pundaknya, seolah-olah memikul nasib ratusan juta rakyat jelata agar dapat diperbaiki derajat kehidupannya. Apa yang membedakan Barack Obama dan Joko Widodo hanyalah boneka dan tuannya. Takdir rezim boneka di negeri setengah jajahan dan setengah feodal adalah menjalankan titah tuannya. Jokowi segera bekerja cepat dengan membuat kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur strategis nasional dengan gelontoran dana utang luar negeri yang hampir tak terbatas. Dengan skala jumlah yang berlipat-ganda dari rezim sebelumnya. Sama seperti halnya Soeharto di masa awal berkuasa, mendapatkan dukungan dana sangat besar dari imperialis AS sebagai hadiah terbesar penghancuran gerakan Rakyat di Indonesia. Dampaknya adalah perampasan tanah gila-gilaan dalam kualitas dan kuantitas terjadi di perdesaan dan perkotaan tanpa kecuali. 

Tidak cukup dengan merampas tanah, rezim Joko Widodo juga menjalankan kebijakan politik upah paling murah dalam sejarah kebijakan upah buruh sejak Indonesia merdeka. PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan adalah produk paling buruk pertama di era Jokowi yang menerapkan formula upah buruh tak lebih dari pertumbuhan ekonomi nasional dan inflasi, sehingga perampasan upah semakin gila-gilaan, nilai upah jatuh dan kehidupan buruh semakin memburuk. 

Tidak cukup dengan Peraturan Pemerintah, perubahan kebijakan ke level yang lebih tinggi setingkat UU pun diciptakan Omnibus Law bernama UU Cipta Kerja. Regulasi ini menjadi kitab penindasan dan penghisapan yang jauh lebih brutal dan massif dalam merampas kepastian kerja, perbaikan kondisi kerja dan nilai upah. UU tahun 2020 yang diciptakan penuh kelicikan dan kecurangan di tengah rakyat menderita pandemic covid-19 ini, menjadi sumber rujukan utama semua perampasan tanah dan upah bagi rakyat Indonesia. Termasuk lahirnya PP No. 36 tahun 2021. 

Di perdesaan, Jokowi menipu kaum tani dengan membajak istilah “Reforma agraria” dari tangan rakyat yang pada kenyataanya hanyalah program sertifikasi tanah untuk semakin memudahkan tanah-tanah kaum tani dikuasai kembali untuk berbagai kepentingan melaui berbagai skema jeratan peribaaan yang memanfaatkan kemiskinan dan kemerosotan hidup kaum tani, sedangkan redistribusi tanah yang dijanjikan hanyalah ilusi untuk membeli kesetiaan rakyat karena sesungguhnya tidak ada tanah dari perkebunan Skala besar dan kehutanan yang benar-benar dibagikan kepada rakyat, kenyataanya angka perampasan tanah untuk perkebunan skala besar, tambang, taman nasional dan kehutanan justeru semakin meningkat. Tidak sampai disitu, Jokowi juga melembagakan Bank Tanah untuk memudahkan mengakumulasi tanah-tanah rakyat.

Seluruh kebijakan warisan rezim Jokowi ini menandai kebijakan paling sistematis dan massif dalam menghapuskan hak-hak buruh dan kaum tani atas tuntutan keadilan sosial yang lantang dikumandangkan sejak 1998 atau 25 tahun gerakan reformasi diusung oleh rakyat Indonesia. 

Dan seluruh kebijakan politik yang semakin menambah penderitaan kehidupan ekonomi rakyat Indonesia tersebut, tidak lain diciptakan untuk memberikan karpet merah bagi investasi asing dan peningkatan utang luar negeri; bukti nyata bahwa rezim boneka Jokowi sungguh-sungguh mensukseskan kebijakan neoliberal sebagai dikte imperialis AS yang semakin menguntungkan kapitalis monopoli dunia dari berbagai belahan dunia. Progres bagi kebijakan pro-imperialis yang sangat menguntungkan kapitalis monopoli dunia, borjuasi komprador dan tuan tanah besar, sungguh bertolak-belakang nasib dengan mayoritas rakyat Indonesia yang hidup dengan menjual tenaga yang semakin sulit dan murah, bertani di lahan sangat sempit, dan penderitaan tak terkecuali menimpa produsen skala kecil, pedagang kecil, hingga pegawai negeri lapis bawah. 

Atas nama penderitaan seluruh rakyat Indonesia, apakah seluruh kebijakan warisan Jokowi tersebut pantas diteruskan? Sang pewaris kebijakan Jokowi akan menuai badai perlawanan yang lebih dahsyat seiring dengan krisis kronis yang semakin memporak-porandakan kehidupan ekonomi rakyat Indonesia hari ini. 

Hingga di ujung kekuasaannya, Rezim Jokowi telah bertindak semakin brutal dan fasis terhadap tatanan demokrasi rakyat termasuk melibas lawan-lawan politiknya tanpa kecuali. Secara pasti rezim ini memberangus seluruh aspirasi rakyat tentang perubahan, Rezim Jokowi tidak hanya melakukan penyalahgunaan wewenang kekuasaannya secara terbatas, tapi menggunakan seluruh Lembaga Negara tanpa kecuali dan merusak konstitusi demi memenangkan ambisi politik pribadinya yang busuk. 

Dan Pemilu 2024 yang terakhir secara politik telah dimenangkan kubu yang didukung oleh rezim Jokowi dan menjamin kelanjutan kebijakan busuk Jokowi, termasuk menyandingkan putra kandungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil dari presiden terpilih Prabowo Subianto. Apa yang dihantarkan rezim Jokowi ke rezim baru Prabowo-Gibran tidak hanya kerusakan tingkat kehidupan rakyat Indonesia yang semakin tercekik krisis kronis sebagai warisan buruk sistemik, namun juga tindasan fasis yang paling besar dan vulgar bagi seluruh rakyat Indonesia. Tindasan fasistik terbuka maupun terselubung yang ditunjukkan rezim Jokowi bagi lawan-lawan politiknya selama pemilu presiden, legislatif hingga pilkada sekarang, telah menghasilkan kelumpuhan dan ketakutan bagi kekuatan tandingan sebagai kontrol bagi kekuasaan yang akan segera tiba. 

Sementara itu, di bawah kontrol klik baru Prabowo-Gibran, kekuasaan negara semakin memusat di klik baru yang berkuasa tanpa ada satu pun partai yang bersebrangan dengan rezim baru ini di parlemen. Semua poros kekuatan politik dan partai-partai utama milik borjuasi komprador dan tuan tanah besar telah dirangkul dan ditundukkan oleh klik baru ini tanpa sisa. Hampir semua kekuatan politik nasional dan wakil-wakil dari tuan tanah-tuan tanah besar serta para borjuasi komparador telah mendapatkan jatah kedudukan di kabinet, lembaga negara maupun di alat kelengkapan legislatif (DPR-MPR). Sedangkan di luar parlemen, kekuatan gerakan rakyat yang independen setiap hari mendapatkan teror terbuka dari ormas-ormas paramiliter baik yang berafiliasi dengan klik Jokowi maupun Prabowo Subianto. 

Hal yang pasti adalah semakin menguatnya peranan institusi militer dan kepolisian dalam menerapkan kontrol politik dan tindasan demokrasi terhadap ruang publik yang berisi ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan rezim yang berkuasa maupun yang akan segera tiba. Menjelang peristiwa pelantikan presiden baru, Prabowo dan sekutunya mengumpulkan kekuatan 1 juta lebih pendukung mereka di Jakarta dari semua satuan militer, kepolisian hingga paramiliter untuk show of forc; sekaligus melibas suara-suara rakyat yang mengusung perubahan dan tuntutan dari masing-masing klas dan sektor yang tertindas dan terhisap selama ini. Inilah situasi darurat politik yang akan dihadapi rakyat Indonesia ke depan, dimana kekuasaan negara semakin memusat, oligarkhis dan fasis yang terus disempurnakan! 

Atas situasi demikian, maka seluruh tekad gerakan rakyat dan mesin politik dan organisasi rakyat yang berlawan harus disiapkan dalam kondisi siaga penuh. Dan dengan lantang, berani, teguh dan mandiri harus menyuarakan tuntutan umumnya secara jujur bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. 

  1. Hentikan kelanjutan seluruh kebijakan rezim Jokowi yang telah terbukti menghancurkan demokrasi dan kehidupan rakyat Indonesia dalam kondisi krisis semakin kronis yang hanya menciptakan penindasan, kemiskinan dan penderitaan!
  2. Hentikan Reforma Agraria Palsu Joko Widodo dan jalankan Reforma Agraria Sejati yang sesuai dengan kehendak sejati rakyat Indonesia, bubarkan Bank Tanah karena menjadi penghambat Reforma Agraria Sejati!
  3. Hentikan proyek strategis nasional yang telah terbukti merampas tanah, menggusur rumah dan menghilangkan ruang hidup rakyat Indonesia!
  4. Berikan akses rakyat untuk berladang dan memanfaatkan hutan secara adil Tanpa melalui skema “sewa tanah” ala Perhutanan Sosial yang menipu!
  5. Berikan jaminan sarana produksi pertanian murah dan mudah bagi kaum tani serta jaminan atas harga hasil produksi pertanian yang layak bagi hasil produksi pertanian!
  6. Hentikan proyek Hilirisasi Industri karena bukan Industrialisasi Nasional, bangun industrialisasi Nasional berdasarkan pelaksanaan Reforma Agraria sejati!
  7. Cabut Undang-undang Cipta Kerja dan semua produk kebijakan turunannya  yang menindas kaum buruh dan semakin mempermudah perampasan tanah kaum tani!
  8. Berikan jaminan pendidikan nasional yang demokratis, ilmiah dan mengabdi pada rakyat!
  9. Berikan lapangan kerja bagi Rakyat Indonesia!
  10. Berikan jaminan kebebasan bagi rakyat untuk berserikat dan berpendapat hentikan kekerasan, teror, intimidasi dan kriminalisasi terhadap rakyat dan aktivis rakyat yang sedang memperjuangkan haknya!

Previous Peringatan Hari Tani Nasional ke 64 “JOKOWI BIANG KEROK KRISIS AGRARIA DAN PANGAN”

Leave Your Comment

Share via
Copy link